Buruh Bangunan Selayang Pandang

Diluar hiruk – pikuk demontrasi buruh setiap tanggal 1 Mei yang diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, ternyata masih ada juga buruh yang umumnya tidak pernah terganggu dengan segala demo yang ada. Dialah buruh bangunan atau pekerja bangunan, mereka inilah sebenarnya sang katalisator pembangunan sejati.



Tanpa adanya buruh bangunan, tidak akan ada bangunan gedung-gedung yang bisa berdiri. Tanpa buruh bangunan, jembatan-jembatan tidak mungkin terbangun dan jalan-jalan menjadi terhubung. Tanpa ada buruh bangunan segala pelabuhan, terminal dan bahkan bandara besar tidak akan bisa terwujud. Tanpa adanya buruh bangunan, jalan – jalan yang tiap hari kita lewati tidak akan nampak mulus serta terpelihara. Walaupun sepintar apapun yang namanya Arsitek, sehebat apapun perencanaan, sehebat apapun Insinyur Sipil yang menghitung dan merancang bangunan. Kalau tidak ada mereka (buruh bangunan) semuanya hanya omong kosong. Lebih baik hanya memiliki 1 insiyur tetapi memiliki 1000 buruh yang pandai daripada memiliki 1000 insinyur dan hanya 1 buruh.

Para buruh bangunan, merekalah yang sebenar–benarnya berjuang membangun negeri ini. Dari kota-kota besar sampai ke pelosok daerah semua ada. Tanpa banyak bicara, tanpa banyak menuntut ini itu kepada pemerintah, tanpa heboh demo dimana – mana, tanpa cengeng meratapi nasibnya. Mereka tetap bekerja siang malam sesuai dengan kompetensi yang mereka punya. Jarang mengeluh, bekerja, bekerja dan bekerja. Karena bagi mereka waktu adalah uang, tidak bekerja jelas tidak dibayar.

Bagaimana sebenarnya kehidupan para buruh bangunan, sedikit disini penulis akan memberikan gamabaran. Kita ambil contoh dalam pembangunan jembatan atau jalan di jalur Pantura pulau Jawa saja, untuk mempermudah pemahaman. Para buruh ini biasanya dikoordinasikan langsung oleh mandor-mandornya. Mandor – mandor inilah yang mempunya hubungan langsung dengan pihak kontraktor. Jadi kalau ada suatu proyek pihak kontraktor akan menghubungi mandor yang sudah biasa bekerja dengan mereka. Antara Kontraktor dengan mandor lah terjadi kesepakatan harga pekerjaan dan berapa jumlah buruh yang harus disiapkan/dimobilisasi. Sistim pembayarannya biasanya adalah satuan volume untuk tiap jenis item pekerjaan yang dikerjakan, jadi berapa hasil volume pekerjaan yang diperoleh mandor itulah yang dibayar oleh kontrakor. Setelah terjadi kesepakatan lalu mandor ini mengumpulkan para buruh. Biasanya mandor ini mengambil buruh tersebut yang berasal dari satu daerah tempat mereka tinggal dan bisa jadi mereka satu kampung atau satu daerah.

Mengenai upah buruh, tentunya tidak mengacu kepada ke segala peraturan yang sering disuarakan oleh pemerintah dan serikat kerja. Pembayaran dari mandor ke buruh yang sering dipakai adalah metode harian lepas berkisar antara Rp. 80.000,- perhari untuk pekerja biasa ( kenek), Rp. 100.000,- untuk tukang yang memiliki keahlian, Rp. 115.000,- untuk Kepala Tukang. Jadi bagi mereka tidak ada namnya UMR dan UMP. Bagaimana dengan jam kerja buruh bangunan?.. Waktu normal bekerja bagi mereka adalah jam 7 pagi sampai jam 4 sore ( dihitung 1 hari) kalau lembur sampai jam 6 sore akan dihitung 1,5 hari dan kalau sampai jam 10 malam dihitung 2 hari kerja. Dan kalau karena faktor keadaan yang mendesak mereka juga harus siap bekerja satu hari penuh selama 24 jam dan mereka akan dibayar 4 hari kerja. Apakah mungkin kondisi tersebut, mungkin saja, terutama pekerjaan pengecoran yang tidak boleh terhenti (pada struktur tertentu) atau juga untuk menghindari jalan macet dimana lalu lintas mobil molen (ready mix beton) dibatasi waktu karena membawa beton siap cor yang tidak boleh terlalu lama menunggu dan harus segera dituang/dicorkan bisa lebih lancar pada malam hari.

Bagaimana mereka (buruh bangunan) ini tinggal selama bekerja di suatu daerah yang jauh dari kampung halaman mereka? Apakah ada mess atau asrama?, Adakah apartemen buat mereka?... Tentu saja tidak, mereka akan tinggal di sekitar area proyek, berupa Barak pekerja/bedeng lah tempat tinggal mereka. Bagaimana dengan kondisinya? Kondisinya adalah asal atap tidak bocor diwaktu hujan, bisa untuk tempat tidur dan istirahat serta ada kamar mandi/wc. Memang hanya sesederhana itu saja, adakah fasilitas yang lainnya (radio, televisi, kulkas, kipas angin, AV, atau bahkan jaringan wifi?.. Nyaris tidak ada atau mereka harus membawa sendiri.

Bagiamana dengan mereka makan? Apakah mereka memasak sendiri? Ataukah mereka catering? Tentu saja tidak, mereka biasanya makan diwarung-warung yang ada di sekitar proyek. Para buruh bangunan ini makan 3 kali sehari di warung ini. Setiap makan minum mereka dicatat (mereka utang) kemudian saat hari bayarar para mandorlah yang menutupi utang mereka dan setelah dipotong utang mereka ke warung barulah buruh menerima gaji bersih mereka.

Lantas kalau misalnya saat itu tidak ada pekerjaan atau tidak ada proyek, Apakah mereka akan dibayar oleh kontraktor/mandor? Tentu saja tidak, mereka sebagian besar adalah pekerja harian yang sifatnya musiman. Barangkali kalau mandornya sudah besar dan menilai kemampuan anak buahnya bagus. Maka disaat tidak ada pekerjaan mandor bisa saja menggaji mereka ala kadarnya (setengah dari penghasilan) mereka rata – rata saat bekerja. Selebihnya para buruh ini akan kembali menjadi petani di desa sambil menunggu peluang kerja yang baru.

Bagimana dengan masalah jaminan kesehatan dan jaminan hari tua? Bukankah hal ini yang paling sering didengungkan oleh pemerintah, masalah perlindungan tenaga kerja. Untuk jaminan kesehatan dalam hal ini adalah jaminan keselamatan kerja, kontraktor sebenarnya wajib mengasuransikan semua pihak yang terlibat didalam proyek konstruksi dan hal ini tentu saja sudah mulai dilakukan oleh kontraktor. Kalau jaminan hari tua, tentunya tidak ada. Buruh sendirilah yang harus memikirkan nasibnya sendiri.

Dari sedikit uraian di atas tentang buruh bangunan. Sepatutnya lah kita berterima kasih kepada mereka. Mereka lah yang sebenarnya berjuang membangun negeri ini. Dengan meninggalkan keluarga di kampung yang bisa sampai berbulan – bulan tidak pulang. Ditambah lagi resiko kecelakaan dalam bekerja. Walaupun kadang kehadiran mereka sepertinya dilupakan. Apalagi disaat peresmian atau penandatanganan prasasti. Mereka jelas bukan orang yang diundang untuk hadir. Jasa mereka seolah – olah dilupakan. Padahal tanpa mereka semua para buruh bangunan, mustahil bangunan - bangunan itu bisa berdiri. Orang – orang berdasi, orang – orang berpakaian rapih, bersafari, naik turun mobil mewah dengan bangganya merasa merekalah yang menciptakan itu semua, padahal tanpa tenaga para buruh bangunan semua tak akan bisa diwujudkan.

Sekarang ini kita menunggu peran aktif pemerintah dalam melindungi para buruh bangunan ini. Sampai sekarang tidak ada terobosan yang significan untuk memperbaiki nasib mereka. Ya begitu – begitu saja dari dulu. Langkah kecil seperti mempermudah sertifikasi keahlian tukang, peraturan pengupahan yang layak bagi buruh bangunan, serta kemudahan dalam mengurus jaminan kecelakaan, adalah salah satu bentuk menghargai kontribusi mereka dalam pembangunan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar